Kamis malam (21/4) sebuah bom meledak di Masjid al-Iman Damaskus Suriah.
Umat Islam sedunia kaget, karena bom bunuh diri tersebut menelan korban
jiwa seorang ulama Sunni terkenal, Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan
al-Buthi. Beliau meninggal saat mengajar tafsir di masjid itu.
Syaikh
al-Buthi ulama besar dan dihormati di seantero dunia Islam dan Barat.
Walaupun begitu, beliau tetap hidup sederhana, dan berjalan menaiki
angkutan kota. Penulis pernah berkunjung ke rumah beliau dan juga
mengikuti pengajiannya. Ceritanya, setelah selesai studi S1 di al-Azhar
pada tahun 1996, penulis berangkat ke Suriah ingin melanjutkan studi S2
di Universitas Damaskus. Tapi, rezim Hafizd al-Asad tidak mengizinkan
pelajar asing mengikuti studi S2 di Universitas Damaskus. Makanya,
selama setengah tahun di Suriah, penulis gunakan mengikuti pengajian
para ulama Islam terkemuka di Suriah. Di antaranya, Syaikh al-Buthi,
Syaikh Wahbah al-Zuhaili, dan lainnya.
Akidah Ahlussunnah
Memang,
Syaikh al-Buthi dekat dengan pemerintah, bahkan beliau sebagai
penasihat presiden Hafizh al-Asad dan pelanjut kekuasaannya Basyar
al-Asad. Namun begitu, berbagai analisa juga mengakui pengaruh Syaikh
al-Buthi. Di antaranya, setelah tujuh jam lamanya Hafizd al-Asad tukar
pikiran dengan Syaikh al-Buthi, pada akhirnya al-Asad menyetujui nasihat
Syaikh al-Buthi dengan membebaskan semua tahanan politik Ikhwan
Muslimin di Suriah. Padahal sebelum itu, pada 1982, rezim al-Asad
membumihanguskan penduduk Provinsi Homs yang mendukung gerakan Ikhwan
Muslimin, dan menewaskan hampir 40 ribu penduduknya. Atas pengaruh
Syaikh al-Buthi juga, rezim al-Asad memberi izin membuka kantor
perwakilan HAMAS di Suriah.
Kedetakan Syaikh al-Buthi dengan
rezim al-Asad itu membuat sebagian orang menilai sinis terhadapnya. Di
antaranya, Syaikh Ghazi al-Taubah meluahkan kekesalannya terhadap sikap
al-Buthi itu dalam tulisannya, Shifat al-Alim al-Buthi Namuzaj Ma’kus.
Bahkan sebagian orang menuduh Syaikh al-Buthi itu pengikut aliran
Syi’ah. Karena, konon katanya Hafizd al-Asad itu pengikut aliran Syi’ah
Isma’iliyah. Sebaliknya, Presiden Hafizd al-Asad menaruh kepercayaan
besar kepada Syaikh al-Buthi. Makanya sebelum al-Asad menghembuskan
nafas terakhir, dia memohon agar Syaikh al-Buthi bersedia menjadi imam
waktu menyalatkan jenazahnya. Dan permohonan al-Asad itu ditunaikan oleh
Syaikh al-Buthi.
Namun begitu, sebagai ulama alumnus al-Azhar,
Syaikh al-Buthi adalah ulama Sunni pengikut pemikiran akidah
al-Asy’ariyah, bukan ulama pentolan Syi’ah. Itu bisa dilihat dalam
bukunya Kubra al-Yakiniyat al-Kauniyah. Pembahasan akidah dalam buku
Syaikh al-Buthi ini mengikut pembahasan akidah para ulama Ahlussunah.
Yaitu pembagian bahasan kepada al-Ilahiyat, al-Nubuwat, al-Ghaibiyah.
Beliau menambah satu pembahasan lagi, yaitu al-Kauniyat.
Pada
pembahasan ayat dan hadist mutasyabihat, Syaikh al-Buthi mengutarakan
pemikiran ulama Salaf yang melakukan takwil ijmali dan pemikiran ulama
Khalaf yang menggunakan takwil tafshili. Kata beliau, kedua pemikiran
itu bertemu dalam satu dimensi tujuan, yaitu keyakinan bahwa Allah SWT
tidak serupa dengan makhluk, dan bersih dari sipat kekurangan. Dan
Syaikh al-Buthi menjelaskan, jika tidak menggunakan dua bentuk takwil
itu, maka seseorang akan menganggap adanya kontradiksi antara ayat
Alquran. Sebagaimana ayat 39 Surah Thaha menisbahkan mata dalam bentuk
tunggal kepada Allah, dan ayat 48 Surah al-Thur pula menisbahkan mata
dalam bentuk jamak kepada Allah.
Penjelasan Syaikh al-Buthi ini
tidak berbeda dengan keterangan dosen Akidah dan Falsafah Universitas
al-Azhar, Syaikh Muhammad al-Qushi dalam bukunya Mauqif al-Salaf Min
al-Mutasyabihat.
Sebagai Ketua Persatuan Ulama Negeri Syam
(Libanon, Palestina, Suriah, Yordania), Syaikh al-Buthi juga
berkeyakinan bahwa Salaf itu merupakan priode masa yang dilalui generasi
awal Islam, bukan merupakan mazhab pemikiran. Begitu yang ditulis
Syaikh al-Buthi dalam bukunya al-Salafiyah.
Buku Syaikh
al-Buthi, Fiqh al-Sirah yang menjadi rujukan para aktivis kampus di
Tanah Air juga menjadi bukti bahwa beliau ulama Sunni. Sebab, di akhir
pembahasan bukunya itu, mantan Dekan Fakultas Syariah Universitas
Damaskus Suriah itu menjelaskan kepemimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun
yang merupakan panutan Islam Sunni.
Mazhab Syafi’i
Sebagai
ulama Sunni berdarah Kurdi, Syaikh al-Buthi tidak melepaskan diri dari
empat mazhab fiqh yang dominan di dunia Islam. Namun begitu, beliau
lebih dekat kepada fiqh Mazhab Syafi’i, sebagaimana halnya mayoritas
Muslim Kurdi. Walapun pada sebagian masalah, beliau lebih memilih
pendapat di luar Mazhab Syafi’i. Hal itu bisa dilihat dalam bukunya
Muhadharat Fi al-Fiqh al-Muqarin.
Dengan prinsip itu, Syaikh
al-Buthi menolak pemikiran suatu kelompok yang memusuhi sikap bermazhab,
sebagaimana beliau tulis dalam bukunya al-La Mazhabiyah. Bahkan, kata
beliau, sikap anti mazhab itu justru akan merusak syariat Islam itu
sendiri. Karena, setiap orang nanti akan tampil mengeluarkan fatwa,
walapun dirinya tidak memiliki syarat sebagai ulama mujtahid. Padahal,
mayoritas sahabat Nabi saja bertanya kepada sahabat Nabi yang punya
keahlian dalam syariat Islam. Bukankah sikap mayoritas sahabat Nabi itu
bentuk dari mengikut mazhab?
Walau bagaimanapun, dunia Islam
telah kehilangan seorang ulama panutan. Dan pada Sabtu (23/3), Persatuan
Ulama Islam Internasional (IUMS) mengecam tindakan pengeboman Masjid
al-Iman di Damaskus Suriah yang menewaskan Syaikh Ramadhan al- Buthi.
Ketua IUMS, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi juga menegasakan bahwa rezim
al-Asad bertanggung jawab atas tragedi itu.
Pada hari yang sama,
Universitas al-Azhar Mesir juga mengecam pengeboman yang menewaskan
ulama Islam alumnus al-Azhar itu. Dan al-Azhar juga yakin bahwa
pengeboman itu bukan dilakukan oleh pejuang revolusi Suriah yang
berpegang pada akidah Ahlussunnah.
Pernyataan Syaikh
al-Qaradhawi dan al-Azhar itu bisa saja benar. Sebab, para petinggi
rezim al-Asad sudah banyak yang membelot. Rahasia hitam rezim diktator
itu ada di tangan Syaikh al-Buthi. Sebelum rahasia itu terbongkar, maka
tindakan teroris itupun mereka lakukan. Wallahu a’lam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar