Selasa, 09 April 2013

Mengapa Ibadah Ditolak?

Dan demi jiwaku yang ada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama 40 hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak baginya (HR Tabrani).

Sebagai agama yang membawa misi kedamaian (rahmat) bagi semesta alam, Islam menekankan pola hidup yang menyeimbangkan antara keperluan ukhrawi dan duniawi.

Karena itu sikap hidup yang cenderung mengecam dunia (blaming the world) dan terlalu berorientasi pada akhirat atau sebaliknya terlalu berorientasi duniawi sehingga mengabaikan dimensi akhirat kurang sejalan dengan spirit Islam.

Di antara dimensi kehidupan duniawi yang paling dominan dibicarakan adalah masalah pemenuhan kebutuhan hidup (ekonomi).

Dalam kaitannya dengan hal ini, pada dasarnya Islam sangat menekankan sikap hidup yang penuh semangat dan kerja keras. Islam menentang pola hidup yang bermalasan-malasan; hanya mengharapkan keuntungan banyak tapi malas berusaha dan cenderung berputus asa karena sikap hidup seperti itu tidak hanya akan merugikan si pelakunya tapi bisa jadi akan mendatangkan efek buruk bagi kehidupan manusia lainnya.

Baik ayat Alquran maupun Hadits banyak sekali memotivasi umat Islam agar  mau berusaha  sekuat tenaga untuk mencari karunia Tuhan di muka bumi dalam rangka memperoleh kehidupan yang layak.

Di antaranya firman Allah swt yang berbunyi: Apabila salat telah selesai dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi cari karunia Allah swt dan banyaklah ingat kepada Allah swt agar kamu beruntung. dalam (Q.S.62:10).

Nabi Muhammad SAW mewanti-wanti umatnya agar keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi beban bagi manusia lain: ”Jangan kamu menjadi beban atas manusia lainnya”.

Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa sebenarnya Islam mendidik agar setiap muslim memiliki mental produktif bukan mental konsumtif. Mental produktif artinya sikap hidup yang cenderung untuk menghasilkan sesuatu (tipe pekerja).

Sedangkan mental konsumtif adalah sikap hidup yang hanya mau menikmati, tidak mau bersusah payah, yang hanya mau mengharapkan keuntungan besar tapi tidak mau bekerja keras.

Sikap hidup konsumtif ini akan membuat orang menjadi manja. Bila sikap hidup ini sudah mewabah secara luas di suatu masyarakat, maka masyarakat itu akan sulit untuk maju dan berkembang.

Namun demikian yang harus diperhatikan  dalam berusaha mencari nafkah untuk pemenuhan kebutuhan hidup itu tidaklah bebas nilai.

Islam memberikan tuntunan bahwa dalam bekerja, seorang muslim terikat oleh serangkaian nilai-nilai normatif yang harus dijadikan pedoman agar mendatangkan kebajikan bagi dirinya dan hartanya serta orang lain.

Tuntunan Islam dalam Berusaha
Secara umum dalam mencari rezeki, Islam mengajarkan agar mengedepankan prinsip kehalalan dan menghindari sesuatu yang haram; baik itu haram karena zatnya atau karena cara mendapatkannya.

Tidak dibenarkan seseorang muslim itu memperdagangkan sesuatu yang sudah jelas diharamkan oleh Allah swt.

Dan juga tidak dibolehkan memperjual belikan sesuatau yang bisa berakibat buruk atau mendatangkan bahaya (mudharat) bagi orang lain. Atau memperdagangkan sesuatu yang didapat dari hasil perbuatan kejahatan.

Selanjutnya tidak diperbolehkan seorang muslim mendapatkan atau menjual sesuatu  dengan cara menipu, seperti dengan mengakali timbangan (takaran), atau mengatakan sesuatu produk itu baik padahal sebenarnya tidak, atau mencampur adukkan barang yang berkualitas baik dengan yang berkualitas buruk, atau mencampurkan sesuatu yang halal dengan yang haram.

Termasuk dalam kategori haram karena cara mendapatkannya adalah hasil perjudian dengan segala macam bentuknya.

Selain itu juga dengan cara menimbun barang lalu menjualnya di saat barang tersebut langka di pasaran dengan harga yang cukup mahal dengan maksud mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. siapa yang menimbun barang, maka ia berdosa (HR. Abu Daud) atau juga menjual sesuatu dengan paksaan. Kemudian juga mendapatkan keuntungan yang tidak wajar atau terlalu berlebih-lebihan (adh’afan mudhoafan) masuk dalam kategori ini membantu seseorang lalu meminta hasil atau jasa yang terlalu besar. Termasuk kategori ini juga praktek rentenir.

Menjual barang dengan harga sangat tinggi dari biaya modal dan operasionalnya. Terakhir adalah hasil suap (korupsi) menerima uang (jasa) dari seseorang dengan maksud untuk memuluskan suatu perkara atau mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya.

Hikmah Menghindari yang Haram
Tuntunan Islam yang mengatur sedemikian rupa dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan duniawi sudah tentu terkandung hikmah di dalamnya.

Mengkonsumsi sesuatu yang haram akan berakibat pada tertolaknya ibadah seseorang dan menghilangkan keberkatan pada diri dan harta yang dimiliki.

Pemenuhan keperluan hidup dari sumber yang tidak halal juga akan berpotensi merusak diri. Imam al-Ghazali mengatakan makanan haram yang masuk ke dalam diri seseorang akan menodai hatinya.

Hati yang ternodai akan mempengaruhi emosi dan kondisi jiwa seseorang sehingga kecenderungannya untuk berprilaku buruk semakin terbuka lebar.

Demikian pula, harta kekayaan yang diperoleh dengan cara yang tidak benar akan jauh dari keberkatan.

Ketidakberkatan itu ditandai dengan berkurangnya atau hilangnya harta (kekayaan) untuk sesuatu yang merugikan dirinya dan orang-orang di  sekitarnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar